Selasa, 30 Desember 2014

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL (STUDI TOKOH INDONESIA H.A.R.Tilaar)

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
STUDI TOKOH INDONESIA
(H.A.R.Tilaar)



Disusun Guna Memenuhi Tugas Individual
Mata Kuliah Pendidikan Multikultural
Dosen Pengampu: Dr. Mahmud Arif





Disusun Oleh:
Nama   : Nurul Lathifah
NIM    : 1320411011
PAI A (NON REGULER)


UIN SUNAN KALIJAGA
PROGRAM PASCASARJANA PRODI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
YOGYAKARTA
2014






BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah bangsa dan negara yang dikenal memiliki suku, budaya, adat-istidata, bahasa, dan agama yang beraneka ragam. Sehingga Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tapi tetap satu juga dijadikan semboyan oleh bangsa ini untuk mewadahi perbedaan suku, agama, budaya, adat-istiadat, dan perbedaan-pperbedaan lainnya yang terdapa dalam masyarakat bangsa ini.
Selain itu, Indonesia adalah merupakan salah satu negara multikultural terbesar didunia, kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas, selain itu, Indonesia termasuk salah satu dari sekian puluh negara berkembang. Sebagai negara berkembang, menjadikan pendidikan sebagai salah satu sarana startegis dalam upanya membangun jati diri bangsa adalah sebuah langkah yang bagus, relatif tepat, dan menjanjikan pendidikan yang layak dan kelihatannya tepat dan kompatibel untuk membangun bangsa kita adalah dengan model pendidikan multikultural.
Menyadari bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari beberapa pemeluk agama dan  banyak suku, yang sangat beraneka ragam. Maka, pencarian bentuk pendidikan alternatif mutlak diperlukan. Yaitu suatu bentuk pendidikan yang berusaha menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkanya kepada generasi berikutnya, menumbuhkan akan tata nilai, memupuk persahabatan antara siswa yang beraneka ragam suku, ras, dan agama, mengembangkan sikap saling memahami, serta mengerjakan keterbukaan dan dialog.
Di Indonesia sebetulnya telah memiliki ideologi yang memuat penghargaan terhadap multikultural, yakni Pancasila. Ideologi Pancasila menghormati akan hak asasi manusia juga terhadap identitas kelompok yang digolongkan sebagai kelompok minoritas.[1]

Melihat fenomena tersebut, kegiatan pendidikan di Indonesia dituntut untuk memiliki kepekaan menghadapi arus perputaran globalisasi. Pola doktrinasi monokulturalisme yang dipaksakan selama orde baru perlu dievaluasi, karena telah berimplikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural. Di lain pihak masih sering kita jumpai adanya fenomena perpecahan di tengah masyarakat, baik berupa kerusuhan/ tawuran antar pelajar, antar RT, antar suku sampai keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI sampai saat ini masih sering mewarnai media nasional baik cetak maupun elektronik. Gelombang demokrasi menuntut pengakuan perbedaan dalam tubuh bangsa Indonesia yang majemuk. Oleh sebab itu untuk membangun rasa persatuan dan kesatuan serta rasa nasionalisme sekaligus menjawab beberapa problematika kemajemukan seperti yang digambarkan di atas dibutuhkan langkah sistematis yang dapat dijadikan sebagai sebuah gerakan nasional.  Melalui pendidikan multikultural kita dapat memberi seluruh siswa-tanpa memandang status sosio-ekonomi, gende, orientasi seksual, atau latar belakang etnis, ras atau budaya kesempatan yang setara untuk belajar di sekolah.[2]
B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah:
1.      Bagaimana pengertian pendidikan menurut H.A.R Tilaar?
2.      Bagaimana konsep pendidikan multikultural menurut H.A.R Tilaar?
3.      Bagaimana urgensi pendidikan multikultural bagi H.A.R Tilaar?
4.      Bagaimana nilai-nilai dan Tujuan Pendidikan Multikultural menurut H.A.R Tilaar?
5.      Bagaimana implementasi pendidikan multukultural menurut H.A.R Tilaar?




BAB II
PEMBAHASAN
A.      Biografi H.A.R Tilaar
Henry Alexis Rudolf (HAR) Tilaar adalah sosok yang sudah sangat familiar dalam dunia pendidikan nasional di Indonesia. Ia merupakan salah seorang pendidik, pemikir, praktisi pendidikan yang kini menjadi aset nasional bangsa ini, karena pemikiran kritisnya dalam menyikapi kinerja pendidikan nasional. H.A.R Tilaar dilahirkan pada 16 Juni 1932 di desa yang relatif terpencil di tepi Danau Tondano, Sulawesi Utara.[3]
Pada 12 Januari 1963, dia menikah dengan Martha Tilaar, Berbeda tapi tetap satu”, kata-kata ini rasanya sangatlah tepat untuk menggambarkan pasangan Prof. Dr. H.A.R Tilaar, MSc.Ed dan Dr. Martha Tilaar. Keduanya menggeluti bidang yang berbeda. Namun mereka tetap satu. Satu dalam Kasih. Berhasil, fokus, dan konsisten pada bidang masing-masing membuat mereka saling melengkapi dan saling mendukung dalam satu harmoni yang selaras dan sinergi. Kasih membuat mereka mau saling mengerti dan menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing dan dianugerahi empat anak: Bryan David Emil, Pingkan Engelien, Wulan Maharani, dan Kilala Esra.[4]
Dalam bidang yang berbeda, pasangan hidup Prof. H.A.R Tilaar, Dr. Martha Tilaar adalah seorang wanita kelahiran Kebumen, Jawa Tengah, yang sangat antusias terhadap budaya dan kekayaan alam Indonesia. Obsesinya untuk menciptakan produk kecantikan nan ilmiah dan ramah lingkungan, telah membawa wanita yang kini memiliki perusahaan multinasional Martha Tilaar Group ini menjelajahi dunia. [5]
Profesi mengajar Tilaar sudah dijalani sejak tahun 1952 hingga sekarang. Kini suami Martha Tilaar ini sebagai guru besar Emeritus pada Program Pascasarjana dan Direktur Utama Lembaga Manajemen Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Semangat belajar dan mengajarnya tak pernah padam dari keluarganya, ia adalah anak ketiga yang berasal dari keturunan atau keluarga guru.
Jenjang pengalaman akademis Tilaar dimulai di tanah kelahirannya sendiri, yaitu di Louwerier School (Sekolah Rakyat) pada masa kolonial Belanda pada tahun 1946. Seusai menamatkan Sekolah Rakyat Tilaar melanjutkan pendidikannya ke Chr. Normaal School, Tomohon dan tamat dengan pujian pada tahun 1950. Setelah lulus, lalu ia meneruskan studinya ke pendidikan tingkat menengah atas di Kweek school, Tomohon dan tamat dengan pujian pada tahun 1952. Pada tahun 1957-1959, Tilaar meneruskan pendidikannya di Sekolah Pendidikan Guru B-I dan B-II Ilmu Mendidik di Bandung dan lulus dengan pujian. Kemudian berkuliah di Universitas Indonesia dan meraih gelar sarjana pendidikannya dengan yudisium cumlaude pada tahun 1961.[6] Pengalaman pendidikan Tilaar sendiri lebih terkonsentrasi pada jurusan pendidikan.
Kemudian pada tahun 1964, Tilaar mendapatkan kesempatan belajar ke luar negeri di Amerika Serikat. Selama berada di negeri Paman Sam tersebut (1964-1965), dia belajar di University of Chicago melalui jalur beasiswa dari USAID. Tilaar berhasil memperoleh gelar Master of Science of Education dari Indiana University, Bloomington, Amerika Serikat, pada tahun 1967. Gelar Doctor of Education, Tilaar peroleh dari universitas yang sama pada tahun 1969. Di samping itu juga, Tilaar banyak mengikuti berbagai program Post-Graduate di beberapa universitas terkemuka di dunia, seperti University of Wiscousin at Milwaukee pada tahun 1965, University of Missouri pada tahun 1966, Michigan State University pada tahun 1969, University of Sussex, Institute of Development Studies pada tahun 1972, Selain sering mengikuti pelatihan di kampus-kampus, Tilaar juga banyak mengikuti pelatihan di lembaga-lembaga dunia; Word Bank, Asian Development Bank (ADB), United Nations (UN), dan IBRD. Selain itu juga, biografi Tilaar tercantum dalam Who’s Who in The World yang terbit di Amerika Serikat pada tahun 2000.[7]
Kini pemikiran Tilaar sudah tersebar di mana-mana dan diadopsi pemerintah dan berbagai lembaga pendidikan. Artikel yang pernah di tulis Tilaar jumlahnya lebih dari 200 buah.[8] Selain rajin menulis artikel, Tilaar juga sudah menulis sejumlah buku tentang pendidikan. Hingga saat ini Tilaar telah menulis buku pendidikan sebanyak belasan buku yang sudah dipublikasikan. Buku pertama yang ditulis H.A.R. Tilaar berjudul Pendidikan dalam Pembangunan Nasional Menyongsong Abad XXI, diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1990.[9]
Selain sebagai anggota kehormatan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Prof. H.A.R Tilaar sempat memperoleh beberapa penghargaan dan prestasi dari luar negeri. Di antaranya menerima Certificate of Ceremony, World Record for Achievement in Pedagogy dari American Biographical Institute pada tahun 2007. Biografinya tercantum juga dalam Who’s Who in American Education edisi 2004-2008, serta tercantum dalam The Great Minds in the 21st. Pada tahun 2009, ia dianugerahi Distinguished Alumni Awards, Indiana University, Indiana University School of Education. Tahun 2012 ini, Prof. H.A.R Tilaar baru saja mendapat penghargaan Thomas Hart Benton Mural Medallion dari Indiana University, Amerika Serikat berkat dedikasinya pada Indonesia dan dunia pendidikan.[10]
Sebagai seorang penulis buku-buku mengenai pedagogik, ia telah menerbitkan banyak tulisan. Ia telah mengunjungi banyak negara di dunia, menghadiri berbagai pertemuan ilmiah di dalam maupun di luar negeri mengenai pendidikan. Ia adalah anggota pendiri Yayasan Buku Utama, anggota Badan Pengembangan Buku Nasional, anggota Dewan Riset Nasional (1999-2004). Dalam birokrasi pemerintah ia adalah staf inti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) sejak 1970 sampai ia pensiun tahun 1993 sebagai Asisten Menteri Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia. Atas jasa-jasanya kepada negara, pada tahun 1998 ia dianugerahi Bintang Jasa Utama Republik Indonesia.[11]


B.       Pemikiran H.A.R Tilaar atas Pendidikan Multikultural
1.         Pengertian Pendidikan Multikultural menurut H.A.R Tilaar
Secara sederhana, multikulturalisme dapat dipahami sebagai sikap bagaimana masing-masing kelompok bersedia untuk menyatu (integrate) tanpa mempedulikan keragaman budaya yang dimiliki. Mereka semua melebur, sehingga pada akhirnya ada proses “hidridisasi” yang meminta setiap individu untuk tidak menonjolkan perbedaan masing-masing kultur.[12] Secara historis, pendidikan multicultural sejak lama telah berkembang di Eropa, Amerika dan negara-negara maju lainnya. Dalam perkembangannya, gerakan pendidikan tentang budaya majemuk (multicultural education) mencapai puncaknya pada decade 1970/1980-an, terutama di lembaga-lembaga pendidikan Amerika Serikat.[13]
Etnik dan budaya diusahakan agar diintegrasikan ke dalam kegiatan-kegiatan pendidikan dalam rangka pembaharuan kurikulum yang menunjang gerakan pendidikan multikultural. Konsep-konsep tentang etnisitas dan nasionalitas dijabarkan kembali dengan tujuan agar gambaran keberadaan jati-diri “etnik seseorang” jelas di mana tempatnya di dalam kebersamaan dan keseluruhan. Seperti yang dikemukakan Rose bahwa kelompok yang anggota-anggotanya memiliki kebersamaan secara unik dalam warisan sosial dan kultural serta kemudian diwariskan dari generasi kepada generasi berikutnya, disebut kelompok etnik. Biasanya mereka mudah diidentifikasi karena memiliki pola-pola keluarga, bahasa, agama dan adapt istiadat yang berbeda dengan yang lainnya serta memiliki kesadaran kelompok yang tinggi.[14]
Pandangan H.A.R. Tilaar mengenai pendidikan multikultural adalah merupakan proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik yang menghargai pluralitas dan heterogenitas secara humanistik. Pendidikan adalah sebuah konsep, ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara. Beliau mengemukakan gagasan mengenai pendidikan multikultural adalah sebagai tawaran konsep bagi dunia pendidikan Indonesia ke depan, khususnya pendidikan yang bercirikan Islam yang ada di Indonesia dalam hal ini adalah madrasah.[15]
Bagaimana jika pendidikan multikultural yang digagas oleh H.A.R. Tilaar tersebut jika diterapkan pada madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memasukkan nilai-nilai inti atau core values dari pendidikan multikultural dalam gagasan H.A.R. Tilaar pada madrasah. Nilai-nilai tersebut di antaranya apresiasi terhadap kenyataan pluralitas budaya dalam masyarakat, pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia dan hak asasi manusia, pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia dan pengembangan tanggung jawab manusia terhadap bumi atau alam semesta.
2.         Konsep Pendidikan Multikultural menurut H.A.R Tilaar
Konsep dasar dan subtansi pendidikan multikultural bagaimanapun juga tidak dapat terlepas dari definisi pendidikan multikutural. Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur dan ras.[16]. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut:
Pertama, pendidikan multikultural secara inhern sudah ada sejak bangsa Indonesia ini ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah bhineka tunggal ika, suka gotong royong, membantu, dan menghargai antar satu dengan yang lainnya. Betapa dapat dilihat dalam potret kronologis bangsa ini yang sarat dengan masuknya berbagai suku bangsa asing dan terus berakulturasi dengan masyarakat pribumi. Misalnya etnis cina, etnis arab, etnis arya, etnis erofa, etnis afrika dan sebagainya. Semua suku itu ternyata secara kultural telah mampu beradaptasi dengan suku-suku asli negara Indonesia. Misalnya suku jawa, batak, minang, bugis, ambon, papua, suku dayak, dan suku sunda. Proses adaptasi dan akulturasi yang berlangsung di antara suku-suku tersebut dengan etnis yang datang kemudian itu, ternyata sebagian besar dilakukan dengan damai tanpa adanya penindasan yang berlebihan. Proses inilah yang dikenal dengan pendidikan multikultural. Hanya saja model pendidikan multikultural ini semakin tereduksi dengan adanya kolonialisasi di bibidang politik, ekonomi, dan mulai merambah ke bidang budaya dan peradaban bangsa.
Kedua, pendidikan multikultural memberikan secerah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas, pluralitas dan keragaman, apapun aspeknya dalam masyarakat. Dengan demikian, pendidikan multikultural yang tidak menjadikan semua manusia sebagai manusia yang bermodel sama, berkepribadian sama, berintelektual sama, atau bahkan berkepercayaan yang sama pula.
Ketiga, pendidikan multikultural menentang pendidikan yang beroreintasi bisnis. Pada saat ini, lembaga pendidikan baik sekolah atau perguruan tinggi berlomba-lomba menjadikan lembaga pendidikannya sebagai sebuah institusi yang mampu menghasilkan income yang besar. Dengan alasannya, untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada peserta didik. Padahal semua orang tahu, bahwa pendidikan yang sebenarnya bagi bangsa Indonesia bukanlah pendidikan keterampilan belaka, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan.yang sering dikenal dengan nama kecerdasan ganda (multiple intelligence).
Keempat, pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan. Kekersan muncul ketika saluran kedamaian sudah tidak ada lagi. Kekerasan tersebut sebagai akibat dari akumulasinya berbagai persoalan masyarakat yang tidak diselesaikan secara tuntas dan saling menerima. Ketuntasan penyelesaian berbagai masalah masyarakat adalah prasyarat bagi munculnya kedamaian. Fanatisme yang sempit juga bisa meyebabkan munculnya kekerasan. Dan fanatisme ini juga berdimensi etnis, bahasa, suku, agama, atau bahkan sistem pemikiran baik di bidang pendidikan, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.[17]
Pertimbangan-pertimbangan itulah yang barang kali perlu dikaji dan direnungkan ulang bagi subjek pendidikan di Indonesia. salah satunya dengan mengembangkan model pendidikan multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran, dan saling menghargai. Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian, kesejahteraan, kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia.[18]
3.         Urgensi Pendidikan Multikultural bagi H.A.R Tilaar
Menurut Gibson sebagaimana dikutip Djohar menyatakan bahwa masa depan bangsa memiliki kriteria khusus yang ditandai oleh hiper kompetisi, suksesi revolusi teknologi serta dislokasi dan konflik sosial menghasilkan keadaan yang non-linier dan sangat tidak dapat diperkirakan dari keadaan masa lampau dan masa kini. Masa depan hanya dapat dihadapi dengan kreativitas, meskipun posisi keadaan sekarang memiliki peranan penting untuk memicu kreativitas. Lebih lanjut dijelaskan bahwa perubahan keadaan yang nonlinier ini tidak akan dapat diantisipasi dengan cara berpikir linier. Pemikiran linier dan rasional yang sekarang kita kembangkan tidak lagi fungsional untuk mengakomodasi perubahan keadaan yang akan terjadi. Keadaan ini mestinya dapat mendorong kita untuk memiliki disain pendidikan masa depan yang memungkinkan peserta didik dan pelaku praksis pendidikan dapat mengaktualisasikan dirinya.[19]
Sebagai bangsa dengan beragam kultur memiliki resistensi yang tinggi terhadap muncunya konflik sebagai konsekuensi dinamika kohesivitas sosial masyarakat. Akar munculnya konflik dalam masyarakat multikultur disebabkan oleh: (1) adanya perebutan sumber daya, alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi (acces to economic resources and to means of production); (2) perluasan batas-batas sosial budaya (social and cultural borderline expansion); (3) dan benturan kepentingan politik, idiologi, dan agama (conflict of political, ideology, and religious interest).[20]
Dari paparan tersebut mengindikasikan bahwa pendidikan multikultural menjadi sesuatu Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Praksis – 79 yang sangat penting dan mendesak untuk di implementasikan dalam praksis pendidikan di Indonesia. Karena pendidikan multikultural dapat berfungsi sebagai sarana alternatif pemecahan konflik. Melalui pembelajaran yang berbasis multikultur, siswa diharapkan tidak tercerabut dari akar budayanya, dan rupanya diakui atau tidak pendidikan multikultural sangat relevan di praktekkan di alam demokrasi seperti saat ini. Spektrum kultur masyarakat Indonesia yang amat beragam memang merupakan tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan untuk mengolah bagaimana ragam perbedaan tersebut justru dapat dijadikan asset, bukan sumber perpecahan. Di era globalisasi ini pendidikan multikultural memiliki tugas ganda, yaitu selain menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya tersebut, juga harus menyiapkan bangsa Indonesia untuk siap menghadapi arus budaya luar yang masuk ke negeri ini.[21]
4.         Nilai-nilai dan Tujuan Pendidikan Multikultural menurut H.A.R Tilaar
Dari definisi tentang pendidikan multikultural yang sudah dijelaskan sebelumnya, dapat dimengerti bahwa inti dari pendidikan multikultural adalah setidaknya mencakup Hak Asasi Manusia, keadilan sosial, demokrasi, dan toleransi terhdap sesama manusia maupun terhadap kedamaian dan keselamatan dunia. Maka dapat dijelaskan ada tiga nilai inti atau core values dari pendidikan multikultural, yaitu:
a.         Apresiasi terhadap adanya kenyataan pluralitas budaya dalam masyarakat
b.        Pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia
c.         Pengembangan tanggung jawab manusia terhadap planet bumi
Berdasarkan nilai-nilai inti tersebut diatas maka dapat dirumuskan enam tujuan yang berkaitan dengan nilai-nilai inti tersebut, yaitu:
a.         Mengembangkan perspektif sejarah (etnohistorisitas) yang beragam dari kelompok-kelompok masyarakat
b.        Memperkuat kesadaran budaya yang hidup di masyarakat
c.         Memperkuat kompetensi interkultural dari budaya-budaya yang hidup dimasyarakat
d.        Membasmi rasisme, seksisme, dan berbagai jenis prasangka (prejudice)
e.         Mengembangkan kesadaran atas kepemilikan planet bumi
f.         Mengembangkan keterampilan sosial (social action).
5.         Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam
Sampai saat ini pendidikan multikultural memang masih sebatas wacana. Praktek pendidikan multikultural di Indonesia nampaknya tidak dapat dilaksanakan seratus persen ideal seperti di Amerika Serikat, walaupun ditinjau dari keragaman budaya memang banyak kemiripan. Hal itu disebabkan oleh perjalanan panjang histori penyelenggaraan pendidikan yang banyak dilatarbelakangi oleh primordialisme. Misalnya pendirian lembaga pendidikan berdasar latar belakang agama, daerah, perorangan maupun kelompok.[22]
Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan peserta didik dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan dipengaruhi oleh nilai spiritual dan sadar dengan nilai etis Islam.[23]
Pendidikan Islam bukan hanya sekadar transfer of knowledge, tetapi lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan, suatu sistem yang terkait langsung dengan Tuhan. Dengan demikian, pendidikan Islam adalah suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Sosok pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang membawa manusia ke arah kebahagiaan dunia dan akhirat melalui ilmu dan ibadah.[24]
Men-design pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antara kelompok, budaya, suku, dan lain sebagainya, seperti Indonesia, mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan peserta didik dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan dipengaruhi oleh nilai spiritual dan sadar dengan nilai etis Islam.[25]
Hilda Hernandez, telah mengungkapkan dua definisi ‘klasik’ untuk menekankan dimensi konseptual pendidikan multikultural yang penting bagi para pendidik. Definisi pertama menekankan esensi pendidikan multikultural sebagai prespektif yang mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur. Definisi ini juga bermaksud merefleksikan pentingnya budaya, ras, gender, etnisitas, agama, status sosial, ekonomi dan [pengecualian-pengecualian dalam proses pendidikan.
Implementasi pendidikan multikultural haruslah menyangkut ke dalam semua aspek kehidupan termasuk agama dalam kehidupan sehari-hari. Karena setiap suku bangsa mempunyai keunggulan masing-masing untuk dikembangkan kemudian disumbangkan pada bangsa Indonesia. Seperti budaya sunda mempunyai cara-cara yang halus yang kemudian bisa disumbangkan untuk ke-Indonesia-an, begitu juga dengan agama bukan untuk gontok-gontokan, tetapi saling menghargai keyakinan yang berbeda. Semua aspek itulah yang harus kita kembangkan untuk ke-Indonesia-an. Begitu juga dengan empat pilar kehidupan nasional kita, yaitu: Pancasila, UUD 45, NKRI & Kebhinekaan yang harus ditanamkan sejak muda.[26]
Kurikulum pendidikan multikultural itu berisikan ajaran bagaimana menumbuhkan sikap toleran dari warga masyarakat agar supaya mengakui akan pluralisme dalam masyarakatnya, antara lain dalam rangka upaya untuk mengurangi gesekan-gesekan atau ketegangan yang diakibatkan oleh perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat. Dan bagaimana mereduksi berbagai jenis prasangka negatif yang secara potensial hidup dalam masyarakat plural.
Mengenai rancangan kurikulum pendidikan multikultural, kita juga harus melihat otonomi pendidikan yang diberikan kepada daerah, sejalan dengan otonomi daerah yang sekarang sedang berlangsung, maka daerah masing-masinglah yang mempunyai kewenangan menyusun kurikulum pendidikan multikultural yang dibutuhkan oleh masyarakatnya, karena kondisi sosial dan budaya di masing-masing daerah tentunya berbeda. Untuk itu, kurikulum multikultural harus didesain sesuai budaya daerahnya dan diarahkan pada budaya nasional. KTSP yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat bisa kita jadikan pegangan dalam merancang kurikulum pendidikan multikultural yang sesuai dengan daerahnya masing-masing.[27]
Yang harus kita pahami pendidikan multikultural bukan berarti disusunnya mata pelajaran pendidikan multikultural, melainkan kurikulum pendidikan multikultural harus menjiwai semua mata pelajaran dalam lembaga pendidikan baik formal maupun informal.
Pendidikan multikultural juga sangat relevan dengan pendidikan demokrasi di masyarakat plural seperti Indonesia, yang menekankan pada pemahaman akan multi etnis, multi ras, dan multikultur yang memerlukan konstruksi baru atas keadilan, kesetaraan, dan masyarakat yang demoktratis.
Nilai-nilai yang tercakup dalam pendidikan multikultural dapat mengantarkan individu bersikap toleran, menghargai nilai-nilai kemanusiaan, dan suka pada perdamaian. Nilai-nilai itu sangat dibutuhkan untuk terciptanya masyarakat madani sebab masyarakat madani memiliki ciri antara lain; universalitas, supremasi hukum, menghargai perbedaan, kebaikan dari dan untuk semua, meraih kebajikan umum, dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.[28]
















BAB III
PENUTUP

H.A.R Tilaar lahir pada 16 Juni 1932 di desa yang relatif terpencil di tepi Danau Tondano, Sulawesi Utara. Tilaar adalah sosok yang sudah sangat familiar dalam dunia pendidikan nasional di Indonesia. Ia merupakan salah seorang pendidik, pemikir, praktisi pendidikan yang kini menjadi aset nasional bangsa ini, karena pemikiran kritisnya dalam menyikapi kinerja pendidikan nasional.
Pendidikan di Indonesia yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam ras, suku budaya, bangsa, dan agama dirasa penting untuk menerapkan pendidikan multikultural. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa dengan masyarakat Indonesia yang beragam inilah seringkali menjadi penyebab munculnya berbagai macam konflik.
Pandangan Tilaar mengenai pendidikan multikultural adalah merupakan proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik yang menghargai pluralitas dan heterogenitas secara humanistik. Pendidikan adalah sebuah konsep, ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.
Implementasi pendidikan multikultural haruslah menyangkut ke dalam semua aspek kehidupan termasuk agama dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan peserta didik dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan dipengaruhi oleh nilai spiritual dan sadar dengan nilai etis Islam.




DAFTAR PUSTAKA
Achwan, Roichan, “Prinsip-prinsip Pendidikan Islam” dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Volume I IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1991, hal. 23.
Banks, James A., Teaching Strategis for Ethnic Studies (Boston: Allyn and Bacon Inc, 1987.
Djohar, Pendidikan Strategik, Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta : LESFI, 2003.
Ramly, Nadjamuddin, Membangun Pendidikan yang Memberdayakan dan Mencerahkan, Jakarta: Grafindo, 2005.
Husain , Syed Sajjad dan Ali, Ashraf Syed, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam, Terj. Rahmani Astuti, Bandung: Gema Risalah Press, 1994.
James, A. Banks, Teaching Strategies for Ethnic Studies, Boston: Allyn and Bacon Inc, 1987.
Ramly, Nadjamuddin, Membangun Pendidikan Yang Memberdayakan dan Mencerahkan, Jakarta: Grafindo, 2005.
http://hamdillahversache.blogspot.com/2012/07/paradigma-pendidikan-multikultural-hr.html-paradigmapnddkn multicultural, diakses pada 12 Nopember 2014
Sanaky, Hujair A.H., “Pembaharuan Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Madani”, dalam Jurnal Mukaddimah No. 8 V/1999 (Yogyakarta: 1999), hal. 21.
Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam, Terj. Rahmani Astuti, Bandung: Gema Risalah Press, 1994.
Tilaar, H.A.R.Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Persfektif Abad 21, Magelang: Tera Indonesia, 1998.
      Perubahan Sosial dan Pendidikan Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2002.
                 , Manifesto Pendidikan Nasional Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural, Jakarta: Buku Kompas, 2005.
                 , Standarisasi Pendidikan Nasional, Suatu Tinjauan Kritis, Jakarta: Rineka Cipta, 2006.
Zamroni, Pendidikan Demokrasi pada Masyarakat Multikultural, Yogyakarta: Gavin Kalam Utama, 2011.


[1] H.A.R. Tilaar, Manifesto Pendidikan Nasional Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural (Jakarta: Buku Kompas, 2005), hlm. 237.
[2] Zamroni, Pendidikan Demokrasi pada Masyarakat Multikultural, (Yogyakarta: Gavin Kalam Utama, 2011), hlm. 35.
[4] H.AR.Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Persfektif Abad 21, (Magelang: Tera Indonesia, 1998), hlm. 428.
[5] Ibid.
[6] H.A.R. TilaarManifesto Pendidikan Nasional; Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural(Jakarta: Kompas, 2005), hlm. 339.
[7] H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia(Jakarta: Grasindo, 2002), hlm. ix-x.
[8] H.A.R.Tilaar, Standarisasi Pendidikan Nasional, Suatu Tinjauan Kritis, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hlm. 238.
[9] H.A.R. TilaarManifesto Pendidikan Nasional; Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural(Jakarta: Kompas, 2005), hlm. 339.
[10] H.AR.Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Persfektif Abad 21, (Magelang: Tera Indonesia, 1998), hlm. 429.
[11] Ibid.
[12] Nadjamuddin Ramly, Membangun Pendidikan yang Memberdayakan dan Mencerahkan (Jakarta: Grafindo, 2005), hlm. xiv.
[13] Ibid.
[14]  James A Banks, Teaching Strategis for Ethnic Studies (Boston: Allyn and Bacon Inc, 1987), hlm. 9-10.
[16] Tilaar, H.A.R., Manajemen Pendidikan Nasional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 27.
[18] Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformsi Pendidikan Nasional, (Jakarta: Grasindo, 2004), hlm. 129.
[19]  Djohar, Pendidikan Strategik, Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta : LESFI, 2003), hlm. 85.
[20] Ibid.
[22]http://hamdillahversache.blogspot.com/2012/07/paradigma-pendidikan-multikultural-h-r.html-Paradigmapnddkn multicultural, diakses pada 12 Nopember 2014.
[23] Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam, Terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Gema Risalah Press, 1994), hal. 1.
[24] Roichan Achwan, “Prinsip-prinsip Pendidikan Islam” dalam Jurnal Ilmu Pendidikan Islam, Volume I IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1991, hal. 23.
[25] Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam, Terj. Rahmani Astuti (Bandung: Gema Risalah Press, 1994), hal. 1.
[27] Ibid.
[28] Hujair A.H. Sanaky, “Pembaharuan Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Madani”, dalam Jurnal Mukaddimah No.8 V/1999 (Yogyakarta: 1999), hal. 21.