PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
STUDI TOKOH INDONESIA
(H.A.R.Tilaar)
Disusun Guna Memenuhi Tugas Individual
Mata Kuliah Pendidikan Multikultural
Dosen Pengampu: Dr. Mahmud Arif
Disusun Oleh:
Nama : Nurul Lathifah
NIM : 1320411011
PAI A (NON REGULER)
UIN SUNAN KALIJAGA
PROGRAM
PASCASARJANA PRODI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah bangsa dan negara yang dikenal memiliki suku, budaya,
adat-istidata, bahasa, dan agama yang beraneka ragam. Sehingga Bhinneka Tunggal
Ika yang artinya berbeda-beda tapi tetap satu juga dijadikan semboyan oleh
bangsa ini untuk mewadahi perbedaan suku, agama, budaya, adat-istiadat, dan
perbedaan-pperbedaan lainnya yang terdapa dalam masyarakat bangsa ini.
Selain itu, Indonesia adalah merupakan salah satu
negara multikultural terbesar didunia, kebenaran dari pernyataan ini dapat
dilihat dari kondisi sosio kultural maupun geografis yang begitu beragam dan
luas, selain itu, Indonesia termasuk salah satu dari sekian puluh negara
berkembang. Sebagai negara berkembang, menjadikan pendidikan sebagai salah satu
sarana startegis dalam upanya membangun jati diri bangsa adalah sebuah langkah
yang bagus, relatif tepat, dan menjanjikan pendidikan yang layak dan
kelihatannya tepat dan kompatibel untuk membangun bangsa kita adalah dengan
model pendidikan multikultural.
Menyadari bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari beberapa pemeluk agama
dan banyak suku, yang sangat beraneka ragam. Maka, pencarian bentuk pendidikan
alternatif mutlak diperlukan. Yaitu suatu bentuk pendidikan yang berusaha
menjaga kebudayaan suatu masyarakat dan memindahkanya kepada generasi
berikutnya, menumbuhkan akan tata nilai, memupuk persahabatan antara siswa yang
beraneka ragam suku, ras, dan agama, mengembangkan sikap saling memahami, serta
mengerjakan keterbukaan dan dialog.
Di Indonesia sebetulnya telah memiliki ideologi yang memuat penghargaan terhadap
multikultural, yakni Pancasila. Ideologi Pancasila menghormati akan hak asasi
manusia juga terhadap identitas kelompok yang digolongkan sebagai kelompok
minoritas.[1]
Melihat fenomena tersebut, kegiatan pendidikan di Indonesia dituntut untuk
memiliki kepekaan menghadapi arus perputaran globalisasi. Pola doktrinasi
monokulturalisme yang dipaksakan selama orde baru perlu dievaluasi, karena
telah berimplikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural.
Di lain pihak masih sering kita jumpai adanya fenomena perpecahan di tengah masyarakat,
baik berupa kerusuhan/ tawuran antar pelajar, antar RT, antar suku sampai keinginan
untuk memisahkan diri dari NKRI sampai saat ini masih sering mewarnai media nasional
baik cetak maupun elektronik. Gelombang demokrasi menuntut pengakuan perbedaan
dalam tubuh bangsa Indonesia yang majemuk. Oleh sebab itu untuk membangun rasa
persatuan dan kesatuan serta rasa nasionalisme sekaligus menjawab beberapa problematika
kemajemukan seperti yang digambarkan di atas dibutuhkan langkah sistematis yang
dapat dijadikan sebagai sebuah gerakan nasional. Melalui pendidikan multikultural kita dapat
memberi seluruh siswa-tanpa memandang status sosio-ekonomi, gende, orientasi
seksual, atau latar belakang etnis, ras atau budaya kesempatan yang setara
untuk belajar di sekolah.[2]
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang belakang diatas, maka yang menjadi
rumusan masalah adalah:
1. Bagaimana pengertian pendidikan menurut H.A.R Tilaar?
2. Bagaimana konsep pendidikan multikultural
menurut H.A.R Tilaar?
3. Bagaimana urgensi pendidikan
multikultural bagi H.A.R Tilaar?
4. Bagaimana nilai-nilai
dan Tujuan Pendidikan Multikultural menurut H.A.R Tilaar?
5. Bagaimana implementasi pendidikan multukultural menurut H.A.R Tilaar?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Biografi H.A.R Tilaar
Henry Alexis Rudolf (HAR) Tilaar adalah sosok yang
sudah sangat familiar dalam dunia pendidikan nasional di Indonesia. Ia
merupakan salah seorang pendidik, pemikir, praktisi pendidikan yang kini
menjadi aset nasional bangsa ini, karena pemikiran kritisnya dalam menyikapi
kinerja pendidikan nasional. H.A.R Tilaar dilahirkan pada 16 Juni 1932 di desa
yang relatif terpencil di tepi Danau Tondano, Sulawesi Utara.[3]
Pada 12 Januari 1963, dia menikah dengan Martha
Tilaar, “Berbeda tapi tetap satu”, kata-kata ini rasanya
sangatlah tepat untuk menggambarkan pasangan Prof. Dr. H.A.R Tilaar, MSc.Ed dan
Dr. Martha Tilaar. Keduanya menggeluti bidang yang berbeda. Namun mereka tetap
satu. Satu dalam Kasih. Berhasil, fokus, dan konsisten pada bidang
masing-masing membuat mereka saling melengkapi dan saling mendukung dalam satu
harmoni yang selaras dan sinergi. Kasih membuat mereka mau saling mengerti dan
menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing dan dianugerahi empat anak:
Bryan David Emil, Pingkan Engelien, Wulan Maharani, dan Kilala Esra.[4]
Dalam bidang yang berbeda, pasangan hidup Prof. H.A.R
Tilaar, Dr. Martha Tilaar adalah seorang wanita kelahiran Kebumen, Jawa Tengah,
yang sangat antusias terhadap budaya dan kekayaan alam Indonesia. Obsesinya
untuk menciptakan produk kecantikan nan ilmiah dan ramah lingkungan, telah
membawa wanita yang kini memiliki perusahaan multinasional Martha Tilaar Group
ini menjelajahi dunia. [5]
Profesi mengajar Tilaar sudah
dijalani sejak tahun 1952 hingga sekarang. Kini suami Martha Tilaar ini sebagai
guru besar Emeritus pada Program Pascasarjana dan Direktur Utama Lembaga
Manajemen Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Semangat belajar dan mengajarnya
tak pernah padam dari keluarganya, ia adalah anak ketiga yang berasal dari
keturunan atau keluarga guru.
Jenjang pengalaman akademis Tilaar dimulai di tanah
kelahirannya sendiri, yaitu di Louwerier School (Sekolah Rakyat) pada masa
kolonial Belanda pada tahun 1946. Seusai menamatkan Sekolah Rakyat Tilaar
melanjutkan pendidikannya ke Chr. Normaal School, Tomohon dan tamat dengan
pujian pada tahun 1950. Setelah lulus, lalu ia meneruskan studinya ke
pendidikan tingkat menengah atas di Kweek school, Tomohon dan tamat dengan
pujian pada tahun 1952. Pada tahun 1957-1959, Tilaar meneruskan pendidikannya
di Sekolah Pendidikan Guru B-I dan B-II Ilmu Mendidik di Bandung dan lulus
dengan pujian. Kemudian berkuliah di Universitas Indonesia dan meraih gelar
sarjana pendidikannya dengan yudisium cumlaude pada tahun 1961.[6]
Pengalaman pendidikan Tilaar sendiri lebih terkonsentrasi pada jurusan
pendidikan.
Kemudian pada tahun 1964, Tilaar mendapatkan
kesempatan belajar ke luar negeri di Amerika Serikat. Selama berada di negeri
Paman Sam tersebut (1964-1965), dia belajar di University of Chicago melalui
jalur beasiswa dari USAID. Tilaar berhasil memperoleh gelar Master
of Science of Education dari Indiana University, Bloomington, Amerika
Serikat, pada tahun 1967. Gelar Doctor of Education, Tilaar peroleh dari universitas
yang sama pada tahun 1969. Di samping itu juga, Tilaar banyak mengikuti
berbagai program Post-Graduate di beberapa universitas terkemuka di dunia,
seperti University of Wiscousin at Milwaukee pada tahun 1965, University of
Missouri pada tahun 1966, Michigan State University pada tahun 1969, University
of Sussex, Institute of Development Studies pada tahun 1972, Selain sering
mengikuti pelatihan di kampus-kampus, Tilaar juga banyak mengikuti pelatihan di
lembaga-lembaga dunia; Word Bank, Asian Development Bank (ADB), United Nations
(UN), dan IBRD. Selain itu juga, biografi Tilaar tercantum dalam Who’s
Who in The World yang terbit di Amerika Serikat pada tahun 2000.[7]
Kini pemikiran Tilaar sudah tersebar
di mana-mana dan diadopsi pemerintah dan berbagai lembaga pendidikan.
Artikel yang pernah di tulis Tilaar jumlahnya lebih dari 200 buah.[8]
Selain rajin menulis artikel, Tilaar juga sudah menulis sejumlah buku tentang
pendidikan. Hingga saat ini Tilaar telah menulis buku pendidikan sebanyak
belasan buku yang sudah dipublikasikan. Buku pertama yang ditulis H.A.R. Tilaar
berjudul Pendidikan dalam Pembangunan Nasional Menyongsong Abad XXI,
diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1990.[9]
Selain sebagai anggota kehormatan Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia (AIPI), Prof. H.A.R Tilaar sempat memperoleh beberapa
penghargaan dan prestasi dari luar negeri. Di antaranya menerima Certificate of
Ceremony, World Record for Achievement in Pedagogy dari American Biographical
Institute pada tahun 2007. Biografinya tercantum juga dalam Who’s Who in
American Education edisi 2004-2008, serta tercantum dalam The Great Minds in
the 21st. Pada tahun 2009, ia dianugerahi Distinguished Alumni Awards, Indiana
University, Indiana University School of Education. Tahun 2012 ini, Prof. H.A.R
Tilaar baru saja mendapat penghargaan Thomas Hart Benton Mural Medallion dari
Indiana University, Amerika Serikat berkat dedikasinya pada Indonesia dan dunia
pendidikan.[10]
Sebagai seorang penulis buku-buku mengenai pedagogik,
ia telah menerbitkan banyak tulisan. Ia telah mengunjungi banyak negara di
dunia, menghadiri berbagai pertemuan ilmiah di dalam maupun di luar negeri
mengenai pendidikan. Ia adalah anggota pendiri Yayasan Buku Utama, anggota
Badan Pengembangan Buku Nasional, anggota Dewan Riset Nasional (1999-2004).
Dalam birokrasi pemerintah ia adalah staf inti Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (BAPPENAS) sejak 1970 sampai ia pensiun tahun 1993 sebagai Asisten Menteri
Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia. Atas jasa-jasanya kepada negara, pada
tahun 1998 ia dianugerahi Bintang Jasa Utama Republik Indonesia.[11]
B. Pemikiran H.A.R Tilaar
atas Pendidikan Multikultural
1.
Pengertian Pendidikan Multikultural menurut H.A.R Tilaar
Secara
sederhana, multikulturalisme dapat dipahami sebagai sikap bagaimana
masing-masing kelompok bersedia untuk menyatu (integrate) tanpa mempedulikan
keragaman budaya yang dimiliki. Mereka semua melebur, sehingga pada akhirnya
ada proses “hidridisasi” yang meminta setiap individu untuk tidak menonjolkan
perbedaan masing-masing kultur.[12]
Secara historis, pendidikan multicultural sejak lama telah berkembang di Eropa,
Amerika dan negara-negara maju lainnya. Dalam perkembangannya, gerakan pendidikan
tentang budaya majemuk (multicultural education) mencapai puncaknya pada decade
1970/1980-an, terutama di lembaga-lembaga pendidikan Amerika Serikat.[13]
Etnik
dan budaya diusahakan agar diintegrasikan ke dalam kegiatan-kegiatan pendidikan
dalam rangka pembaharuan kurikulum yang menunjang gerakan pendidikan
multikultural. Konsep-konsep tentang etnisitas dan nasionalitas dijabarkan
kembali dengan tujuan agar gambaran keberadaan jati-diri “etnik seseorang”
jelas di mana tempatnya di dalam kebersamaan dan keseluruhan. Seperti yang
dikemukakan Rose bahwa kelompok yang anggota-anggotanya memiliki kebersamaan
secara unik dalam warisan sosial dan kultural serta kemudian diwariskan dari
generasi kepada generasi berikutnya, disebut kelompok etnik. Biasanya mereka mudah
diidentifikasi karena memiliki pola-pola keluarga, bahasa, agama dan adapt
istiadat yang berbeda dengan yang lainnya serta memiliki kesadaran kelompok
yang tinggi.[14]
Pandangan
H.A.R. Tilaar mengenai pendidikan multikultural adalah merupakan proses pengembangan
sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara
mendidik yang menghargai pluralitas dan heterogenitas secara humanistik.
Pendidikan adalah sebuah konsep, ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian
kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai
pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman
sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu,
kelompok maupun negara. Beliau mengemukakan gagasan mengenai pendidikan
multikultural adalah sebagai tawaran konsep bagi dunia pendidikan Indonesia ke
depan, khususnya pendidikan yang bercirikan Islam yang ada di Indonesia dalam
hal ini adalah madrasah.[15]
Bagaimana
jika pendidikan multikultural yang digagas oleh H.A.R. Tilaar tersebut jika
diterapkan pada madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam di
Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memasukkan nilai-nilai inti atau
core values dari pendidikan multikultural dalam gagasan H.A.R. Tilaar
pada madrasah. Nilai-nilai tersebut di antaranya apresiasi terhadap kenyataan
pluralitas budaya dalam masyarakat, pengakuan terhadap harkat dan martabat
manusia dan hak asasi manusia, pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia dan
pengembangan tanggung jawab manusia terhadap bumi atau alam semesta.
2.
Konsep Pendidikan Multikultural menurut H.A.R Tilaar
Konsep dasar dan subtansi pendidikan multikultural bagaimanapun juga
tidak dapat terlepas dari definisi pendidikan multikutural. Berkaitan dengan hal ini, maka pendidikan
multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep
pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat,
khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama,
status sosial, gender, kemampuan, umur dan ras.[16].
Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut:
Pertama, pendidikan multikultural secara inhern sudah
ada sejak bangsa Indonesia ini ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah bhineka
tunggal ika, suka gotong royong, membantu, dan menghargai antar satu dengan
yang lainnya. Betapa dapat dilihat dalam potret kronologis bangsa ini yang
sarat dengan masuknya berbagai suku bangsa asing dan terus berakulturasi dengan
masyarakat pribumi. Misalnya etnis cina, etnis arab, etnis arya, etnis erofa,
etnis afrika dan sebagainya. Semua suku itu ternyata secara kultural telah
mampu beradaptasi dengan suku-suku asli negara Indonesia. Misalnya suku jawa,
batak, minang, bugis, ambon, papua, suku dayak, dan suku sunda. Proses adaptasi
dan akulturasi yang berlangsung di antara suku-suku tersebut dengan etnis yang
datang kemudian itu, ternyata sebagian besar dilakukan dengan damai tanpa
adanya penindasan yang berlebihan. Proses inilah yang dikenal dengan pendidikan
multikultural. Hanya saja model pendidikan multikultural ini semakin tereduksi
dengan adanya kolonialisasi di bibidang politik, ekonomi, dan mulai merambah ke
bidang budaya dan peradaban bangsa.
Kedua, pendidikan multikultural memberikan secerah harapan
dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini.
Pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi
nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas, pluralitas dan keragaman, apapun
aspeknya dalam masyarakat. Dengan demikian, pendidikan multikultural yang tidak
menjadikan semua manusia sebagai manusia yang bermodel sama, berkepribadian
sama, berintelektual sama, atau bahkan berkepercayaan yang sama pula.
Ketiga, pendidikan multikultural menentang pendidikan yang
beroreintasi bisnis. Pada saat ini, lembaga pendidikan baik sekolah atau
perguruan tinggi berlomba-lomba menjadikan lembaga pendidikannya sebagai sebuah
institusi yang mampu menghasilkan income yang besar. Dengan alasannya, untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kepada peserta didik. Padahal semua orang tahu,
bahwa pendidikan yang sebenarnya bagi bangsa Indonesia bukanlah pendidikan keterampilan
belaka, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan.yang
sering dikenal dengan nama kecerdasan ganda (multiple intelligence).
Keempat, pendidikan multikultural sebagai resistensi
fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan. Kekersan muncul ketika
saluran kedamaian sudah tidak ada lagi. Kekerasan tersebut sebagai akibat dari akumulasinya
berbagai persoalan masyarakat yang tidak diselesaikan secara tuntas dan saling
menerima. Ketuntasan penyelesaian berbagai masalah masyarakat adalah prasyarat
bagi munculnya kedamaian. Fanatisme yang sempit juga bisa meyebabkan munculnya
kekerasan. Dan fanatisme ini juga berdimensi etnis, bahasa, suku, agama, atau
bahkan sistem pemikiran baik di bidang pendidikan, politik, hukum, ekonomi,
sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.[17]
Pertimbangan-pertimbangan
itulah yang barang kali perlu dikaji dan direnungkan ulang bagi subjek
pendidikan di Indonesia. salah satunya dengan mengembangkan model pendidikan
multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan
dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran, dan saling menghargai. Inilah yang
diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian, kesejahteraan, kebahagian, dan
keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia.[18]
3.
Urgensi Pendidikan Multikultural bagi H.A.R Tilaar
Menurut
Gibson sebagaimana dikutip Djohar menyatakan bahwa masa depan bangsa memiliki
kriteria khusus yang ditandai oleh hiper kompetisi, suksesi revolusi teknologi
serta dislokasi dan konflik sosial menghasilkan keadaan yang non-linier dan
sangat tidak dapat diperkirakan dari keadaan masa lampau dan masa kini. Masa
depan hanya dapat dihadapi dengan kreativitas, meskipun posisi keadaan sekarang
memiliki peranan penting untuk memicu kreativitas. Lebih lanjut dijelaskan
bahwa perubahan keadaan yang nonlinier ini tidak akan dapat diantisipasi dengan
cara berpikir linier. Pemikiran linier dan rasional yang sekarang kita
kembangkan tidak lagi fungsional untuk mengakomodasi perubahan keadaan yang
akan terjadi. Keadaan ini mestinya dapat mendorong kita untuk memiliki disain pendidikan
masa depan yang memungkinkan peserta didik dan pelaku praksis pendidikan dapat
mengaktualisasikan dirinya.[19]
Sebagai
bangsa dengan beragam kultur memiliki resistensi yang tinggi terhadap muncunya
konflik sebagai konsekuensi dinamika kohesivitas sosial masyarakat. Akar munculnya
konflik dalam masyarakat multikultur disebabkan oleh: (1) adanya perebutan
sumber daya, alat-alat produksi, dan kesempatan ekonomi (acces to economic
resources and to means of production); (2) perluasan batas-batas sosial
budaya (social and cultural borderline expansion); (3) dan benturan
kepentingan politik, idiologi, dan agama (conflict of political, ideology,
and religious interest).[20]
Dari
paparan tersebut mengindikasikan bahwa pendidikan multikultural menjadi sesuatu
Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi Implementasi Pendidikan
Multikultural dalam Praksis – 79 yang sangat penting dan mendesak untuk di implementasikan
dalam praksis pendidikan di Indonesia. Karena pendidikan multikultural dapat berfungsi
sebagai sarana alternatif pemecahan konflik. Melalui pembelajaran yang berbasis
multikultur, siswa diharapkan tidak tercerabut dari akar budayanya, dan rupanya
diakui atau tidak pendidikan multikultural sangat relevan di praktekkan di alam
demokrasi seperti saat ini. Spektrum kultur masyarakat Indonesia yang amat
beragam memang merupakan tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan untuk mengolah
bagaimana ragam perbedaan tersebut justru dapat dijadikan asset, bukan sumber perpecahan.
Di era globalisasi ini pendidikan multikultural memiliki tugas ganda, yaitu
selain menyatukan bangsa sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya
tersebut, juga harus menyiapkan bangsa Indonesia untuk siap menghadapi arus
budaya luar yang masuk ke negeri ini.[21]
4.
Nilai-nilai dan Tujuan Pendidikan Multikultural menurut
H.A.R Tilaar
Dari definisi tentang pendidikan multikultural yang sudah dijelaskan
sebelumnya, dapat dimengerti bahwa inti dari pendidikan multikultural adalah setidaknya
mencakup Hak Asasi Manusia, keadilan sosial, demokrasi, dan toleransi terhdap
sesama manusia maupun terhadap kedamaian dan keselamatan dunia. Maka dapat
dijelaskan ada tiga nilai inti atau core values dari pendidikan
multikultural, yaitu:
a.
Apresiasi terhadap adanya kenyataan pluralitas
budaya dalam masyarakat
b.
Pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia
c.
Pengembangan tanggung jawab manusia terhadap planet
bumi
Berdasarkan nilai-nilai inti tersebut
diatas maka dapat dirumuskan enam tujuan yang berkaitan dengan nilai-nilai inti
tersebut, yaitu:
a.
Mengembangkan perspektif sejarah (etnohistorisitas)
yang beragam dari kelompok-kelompok masyarakat
b.
Memperkuat kesadaran budaya yang hidup di masyarakat
c.
Memperkuat kompetensi interkultural dari
budaya-budaya yang hidup dimasyarakat
d.
Membasmi rasisme, seksisme, dan berbagai jenis
prasangka (prejudice)
e.
Mengembangkan kesadaran atas kepemilikan planet bumi
f.
Mengembangkan keterampilan sosial (social action).
5.
Implementasi Pendidikan Multikultural dalam
Pendidikan Islam
Sampai
saat ini pendidikan multikultural memang masih sebatas wacana. Praktek pendidikan
multikultural di Indonesia nampaknya tidak dapat dilaksanakan seratus persen
ideal seperti di Amerika Serikat, walaupun ditinjau dari keragaman budaya memang
banyak kemiripan. Hal itu disebabkan oleh perjalanan panjang histori
penyelenggaraan pendidikan yang banyak dilatarbelakangi oleh primordialisme.
Misalnya pendirian lembaga pendidikan berdasar latar belakang agama, daerah,
perorangan maupun kelompok.[22]
Pendidikan
Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan peserta didik dengan cara begitu
rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka
terhadap segala jenis pengetahuan dipengaruhi oleh nilai spiritual dan sadar
dengan nilai etis Islam.[23]
Pendidikan
Islam bukan hanya sekadar transfer of knowledge, tetapi lebih merupakan
suatu sistem yang ditata di atas pondasi keimanan dan kesalehan, suatu sistem
yang terkait langsung dengan Tuhan. Dengan demikian, pendidikan Islam adalah
suatu kegiatan yang mengarahkan dengan sengaja perkembangan seseorang sesuai
atau sejalan dengan nilai-nilai Islam. Sosok pendidikan Islam dapat digambarkan
sebagai suatu sistem yang membawa manusia ke arah kebahagiaan
dunia dan akhirat melalui ilmu dan ibadah.[24]
Men-design pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat
yang penuh permasalahan antara kelompok, budaya, suku, dan lain sebagainya,
seperti Indonesia, mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan Islam
adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan peserta didik dengan cara begitu
rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, keputusan, dan pendekatan mereka
terhadap segala jenis pengetahuan dipengaruhi oleh nilai spiritual dan sadar
dengan nilai etis Islam.[25]
Hilda
Hernandez, telah mengungkapkan dua definisi ‘klasik’ untuk menekankan dimensi
konseptual pendidikan multikultural yang penting bagi para pendidik. Definisi
pertama menekankan esensi pendidikan multikultural sebagai prespektif yang
mengakui realitas politik, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing
individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur.
Definisi ini juga bermaksud merefleksikan pentingnya budaya, ras, gender,
etnisitas, agama, status sosial, ekonomi dan [pengecualian-pengecualian dalam
proses pendidikan.
Implementasi
pendidikan multikultural haruslah menyangkut ke dalam semua aspek kehidupan
termasuk agama dalam kehidupan sehari-hari. Karena setiap suku bangsa mempunyai
keunggulan masing-masing untuk dikembangkan kemudian disumbangkan pada bangsa
Indonesia. Seperti budaya sunda mempunyai cara-cara yang halus yang kemudian
bisa disumbangkan untuk ke-Indonesia-an, begitu juga dengan agama bukan untuk
gontok-gontokan, tetapi saling menghargai keyakinan yang berbeda. Semua aspek
itulah yang harus kita kembangkan untuk ke-Indonesia-an. Begitu juga dengan
empat pilar kehidupan nasional kita, yaitu: Pancasila, UUD 45, NKRI &
Kebhinekaan yang harus ditanamkan sejak muda.[26]
Kurikulum
pendidikan multikultural itu berisikan ajaran bagaimana menumbuhkan sikap
toleran dari warga masyarakat agar supaya mengakui akan pluralisme dalam
masyarakatnya, antara lain dalam rangka upaya untuk mengurangi gesekan-gesekan
atau ketegangan yang diakibatkan oleh perbedaan-perbedaan di dalam masyarakat.
Dan bagaimana mereduksi berbagai jenis prasangka negatif yang secara potensial
hidup dalam masyarakat plural.
Mengenai
rancangan kurikulum pendidikan multikultural, kita juga harus melihat otonomi
pendidikan yang diberikan kepada daerah, sejalan dengan otonomi daerah yang
sekarang sedang berlangsung, maka daerah masing-masinglah yang mempunyai
kewenangan menyusun kurikulum pendidikan multikultural yang dibutuhkan oleh
masyarakatnya, karena kondisi sosial dan budaya di masing-masing daerah
tentunya berbeda. Untuk itu, kurikulum multikultural harus didesain sesuai
budaya daerahnya dan diarahkan pada budaya nasional. KTSP yang dikeluarkan oleh
pemerintah pusat bisa kita jadikan pegangan dalam merancang kurikulum
pendidikan multikultural yang sesuai dengan daerahnya masing-masing.[27]
Yang
harus kita pahami pendidikan multikultural bukan berarti disusunnya mata
pelajaran pendidikan multikultural, melainkan kurikulum pendidikan
multikultural harus menjiwai semua mata pelajaran dalam lembaga pendidikan baik
formal maupun informal.
Pendidikan
multikultural juga sangat relevan dengan pendidikan demokrasi di masyarakat
plural seperti Indonesia, yang menekankan pada pemahaman akan multi etnis, multi
ras, dan multikultur yang memerlukan konstruksi baru atas keadilan, kesetaraan,
dan masyarakat yang demoktratis.
Nilai-nilai
yang tercakup dalam pendidikan multikultural dapat mengantarkan individu
bersikap toleran, menghargai nilai-nilai kemanusiaan, dan suka pada perdamaian.
Nilai-nilai itu sangat dibutuhkan untuk terciptanya masyarakat madani sebab masyarakat
madani memiliki ciri antara lain; universalitas, supremasi hukum, menghargai
perbedaan, kebaikan dari dan untuk semua, meraih kebajikan umum, dan menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia.[28]
BAB III
PENUTUP
H.A.R Tilaar lahir pada 16 Juni 1932 di desa yang relatif terpencil di tepi
Danau Tondano, Sulawesi Utara. Tilaar adalah sosok yang sudah sangat familiar
dalam dunia pendidikan nasional di Indonesia. Ia merupakan salah seorang
pendidik, pemikir, praktisi pendidikan yang kini menjadi aset nasional bangsa
ini, karena pemikiran kritisnya dalam menyikapi kinerja pendidikan nasional.
Pendidikan di Indonesia yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam ras,
suku budaya, bangsa, dan agama dirasa penting untuk menerapkan pendidikan
multikultural. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa dengan masyarakat Indonesia
yang beragam inilah seringkali menjadi penyebab munculnya berbagai macam
konflik.
Pandangan Tilaar mengenai pendidikan multikultural
adalah merupakan proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau
sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran,
pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik yang menghargai pluralitas
dan heterogenitas secara humanistik. Pendidikan adalah sebuah konsep, ide atau
falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan
penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di
dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi,
kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara.
Implementasi pendidikan multikultural haruslah
menyangkut ke dalam semua aspek kehidupan termasuk agama dalam kehidupan
sehari-hari. Pendidikan Islam adalah suatu pendidikan yang melatih perasaan
peserta didik dengan cara begitu rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan,
keputusan, dan pendekatan mereka terhadap segala jenis pengetahuan dipengaruhi
oleh nilai spiritual dan sadar dengan nilai etis Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Achwan, Roichan, “Prinsip-prinsip Pendidikan Islam” dalam Jurnal
Ilmu Pendidikan Islam, Volume I IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1991, hal. 23.
Banks, James A., Teaching Strategis for Ethnic Studies (Boston: Allyn and Bacon Inc, 1987.
Djohar, Pendidikan Strategik, Alternatif untuk
Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta : LESFI, 2003.
Ramly, Nadjamuddin, Membangun Pendidikan yang Memberdayakan dan
Mencerahkan, Jakarta: Grafindo, 2005.
Husain
, Syed
Sajjad dan Ali, Ashraf Syed, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam, Terj.
Rahmani Astuti, Bandung:
Gema Risalah Press, 1994.
James, A. Banks, Teaching Strategies for Ethnic Studies,
Boston: Allyn and Bacon Inc, 1987.
Ramly, Nadjamuddin, Membangun Pendidikan Yang Memberdayakan dan
Mencerahkan, Jakarta: Grafindo, 2005.
http://hamdillahversache.blogspot.com/2012/07/paradigma-pendidikan-multikultural-hr.html-paradigmapnddkn multicultural, diakses pada 12 Nopember 2014
http://library.uin-suka.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1-2006-johannawaw-1608-bab1_310-6.pdf, diakses pada Senin, 08 Nopember 2014.
http://konsep-pendidikan-multikultural/digilib/files/disk1/29/gdl-s1-2010-Muh.Isnaini
-1608.pdf,
diakses pada Senin, 08 Nopember 2014.
Sanaky, Hujair A.H., “Pembaharuan
Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Madani”, dalam Jurnal Mukaddimah No. 8
V/1999 (Yogyakarta: 1999), hal. 21.
Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf,
Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam, Terj. Rahmani Astuti, Bandung: Gema
Risalah Press, 1994.
Tilaar,
H.A.R., Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan
Nasional dalam Persfektif Abad 21, Magelang: Tera Indonesia, 1998.
Zamroni, Pendidikan Demokrasi
pada Masyarakat Multikultural, Yogyakarta: Gavin Kalam Utama, 2011.
[1] H.A.R. Tilaar, Manifesto Pendidikan
Nasional Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural
(Jakarta: Buku Kompas, 2005), hlm. 237.
[2]
Zamroni, Pendidikan Demokrasi pada Masyarakat Multikultural,
(Yogyakarta: Gavin Kalam Utama, 2011), hlm. 35.
[3]http://www.muhammadmukhlisin.com/2012/10/biografi-prof-dr-har-tilaarmsced html?utm, source=twitterfeed &utm_medium=twitter, diakses pada 12 No[ember 2014.
[4] H.AR.Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi
Pendidikan Nasional dalam Persfektif Abad 21, (Magelang: Tera Indonesia, 1998), hlm. 428.
[6] H.A.R. Tilaar, Manifesto
Pendidikan Nasional; Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural, (Jakarta: Kompas, 2005),
hlm. 339.
[7] H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan
Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2002),
hlm. ix-x.
[8] H.A.R.Tilaar, Standarisasi Pendidikan Nasional,
Suatu Tinjauan Kritis, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2006), hlm. 238.
[9] H.A.R. Tilaar, Manifesto
Pendidikan Nasional; Tinjauan dari Perspektif Postmodernisme dan Studi Kultural, (Jakarta: Kompas, 2005),
hlm. 339.
[10] H.AR.Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi
Pendidikan Nasional dalam Persfektif Abad 21, (Magelang:
Tera Indonesia, 1998), hlm. 429.
[12] Nadjamuddin Ramly, Membangun Pendidikan yang
Memberdayakan dan Mencerahkan (Jakarta: Grafindo, 2005), hlm. xiv.
[14] James A Banks,
Teaching Strategis for Ethnic Studies (Boston: Allyn and Bacon Inc, 1987),
hlm. 9-10.
[15]http://library.uin-suka.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1-2006-johannawaw-1608-bab1_310-6.pdf, diakses pada Senin, 08 Nopember 2014.
[16] Tilaar, H.A.R., Manajemen Pendidikan Nasional, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 27.
[17] http://konsep-pendidikan-multikultural/digilib/files/disk1/29/gdl-s1-2010-Muh.Isnaini -1608.pdf,
diakses pada Senin, 08 Nopember 2014.
[18] Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme
Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformsi Pendidikan Nasional,
(Jakarta: Grasindo, 2004), hlm. 129.
[19] Djohar, Pendidikan Strategik, Alternatif untuk Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta : LESFI, 2003), hlm. 85.
[21] http://konsep-pendidikan-multikultural/digilib/files/disk1/29/gdl-s1-2010-Muh.Isnaini 1608. pdf,
diakses pada Senin, 08 Nopember 2014.
[22]http://hamdillahversache.blogspot.com/2012/07/paradigma-pendidikan-multikultural-h-r.html-Paradigmapnddkn multicultural, diakses pada 12 Nopember 2014.
[23]
Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan
Islam, Terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Gema Risalah Press, 1994),
hal. 1.
[24]
Roichan Achwan, “Prinsip-prinsip Pendidikan Islam” dalam Jurnal Ilmu
Pendidikan Islam, Volume I IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1991, hal. 23.
[25]
Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan
Islam, Terj. Rahmani Astuti (Bandung: Gema Risalah Press, 1994),
hal. 1.
[26] http://library.uin-suka.ac.id/digilib/files/disk1/33/jtptiain-gdl-s1-2006-johannawaw-1608-bab1_310-6.pdf, diakses pada Senin, 08 Nopember 2014.
[28]
Hujair A.H. Sanaky, “Pembaharuan Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Madani”,
dalam Jurnal Mukaddimah No.8 V/1999 (Yogyakarta: 1999), hal. 21.
